Potensi Ternak Kerbau
Kerbau mempunyai beberapa
keunggulan untuk ditingkatkan perannya terutama berkaitan dengan potensi genetik
dan aspek lingkungannya. Kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi, terlihat
dari penyebarannya yang luas, mulai dari daerah iklim kering, lahan rawa, daerah pegunungan,
dan daerah dataran rendah. Kerbau
juga memiliki kemampuan memanfaatkan
pakan berkualitas rendah seperti rumput kering dengan kadar nutrisi rendah dan serat kasar
tinggi, DlWYANTO dan Handiwirawan (2006) menulis kerbau memiliki
keunggulan tersendiri dibandingkan sapi, yakni mampu hidup pada kawasan yang relatif
'sulit' terutama bila pakan yang tersedia berkualitas rendah. Pada kondisi kualitas
pakan yang tersedia relatif jelek, setidaknya pertumbuhan
kerbau dapat menyamai atau bahkan lebih baik daripada sapi, dan masih dapat
berkembangbiak dengan baik.
Selain itu kerbau
memiliki kapasitas yang cukup tinggi untuk mengatasi tekanan dan perubahan lingkungan
yang ekstrim. Sebagai contoh, kerbau mampu bertahan hidup dengan baik meski
terjadi perubahan temperature (heatload) dan perubahan vegetasi padang rumput. Dengan keunggulan-keunggulan tersebut, kerbau
adalah salah satu temak yang potensial untuk dikembangkan, pengembangan usaha petemakan
kerbau dan wilayah agribisnis kerbau sangat luas, hampir meliputi seluruh agroekosistem
dan sosio-budaya yang ada. Sistem pemeliharaan kerbau relatif lebih mudah.
Dalam usaha petemakan rakyat, kerbau dipelihara
secara ekstensif terutama di daerah pantai, dimana pemeliharaan kerbau umunmya digembalakan. Para
petani biasanya memanfaatkan
biomasa hijauan yang tersedia di sekitar sebagai sumber bahan pakan utama, dan
praktisnya penggunaan input ekstemal masih sangat terbatas.
Upaya Pengembangan dan Pelestarian Kerbau
Jumlah pemotongan kerbau (baik untuk
kebutuhan daging maupun keperluan ritus adat budaya), semakin meningkat.
Seperti yang terjadi pada kerbau Belang di Tana Toraja, menurut laporan DISNAK
Tana Toraja (2004), bahwa jumlah pemotongan kerbau Belang mencapai 50 - 60
ekor/tahun, sedangkan kelahirannya hanya 10-20 ekor/tahun. Hal ini akan
berdampak semakin terkurasnya populasi kerbau Belang. Keadaan seperti ini akan mengancam sumberdaya
genetik kerbau. Diperlukan upaya untuk menyelamatkan dan mengembangkan kerbau
Belang sebagai salah satu sumberdaya genetic ternak yang perlu dilestarikan,
untuk kemudian ditingkatkan potensinya dan dimanfaatkan secara berkelanjutan
untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, ketersediaan bahan pangan,
terciptanya lapangan kerja dan peningkatan devisa negara.
Sudah banyak laporan dan kajian tentang
prospek yang cukup baik untuk pengembangan ternak kerbau pada beberapa daerah,
namun kurang mendapat perhatian yang serius.
Berbagai upaya perlu terus dilakukan untuk meningkatkan produktivitas
kerbau terutama di daerah-daerah sentra kerbau yang secara nasional penting.
Hal tersebut dilakukan agar tidak terjadi pengurasan temak yang berakibat
penurunan populasi.
Sejauh ini petemak tradisional memegang
peranan yang besar dalam pelestarian ternak asli dan temak lokal termasuk
kerbau. Di sisi lain ancaman kelestarian sumberdaya genetic datang sebagai
akibat dari pemanfaatan yang berlebihan dan pencemaran akibat migrasi genetik
yang teijadi. Upaya untuk mempertahankan
kelestarian dan kemumian temak asli perlu ditangani dalam rangka mempertahankan
sumber daya genetik temak asli yang
mempunyai keunggulan adaptasi yang tinggi.
Upaya pengembangan ternak kerbau dapat
dilakukan sesuai dengan potensi daerah yang didukung dengan perbaikan teknologi
(bibit, manajemen, pakan). Dalam upaya
pelestarian perlu adanya dukungan dan campur tangan pemerintah dalam hal
regulasi dan kebijakan, penerapan teknologi yang tepat, penguatan kelembagaan
serta peningkatan keterampilan dan wawasan para petemak. Pembentukan village
breeding centre dapat dilakukan dengan melibatkan kelompok-kelompok petemak
merupakan salah satu cara untuk memperbanyak populasi atau pembentukan
pusat-pusat/usaha pembibitan kerbau temtama pada wilayah yang memiliki populasi
kerbau banyak. Upaya pelestarian lainnya adalah diperlukan adanya lomba keindahan,
kontes temak misalnya dilihat dari performansnya dan bursa hewan, kegiatan
seperti ini sekaligus untuk penjaringan bibit unggul.
Diwyanto dan Handiwirawan (2006),
menyampaikan altematif program pemuliaan yang dapat diterapkan di kawasan
sumber bibit adalah program pemuliaan inti terbuka (Open Nucleus Breeding
System). Dalam program ini, instansi pemerintah (UPT/UPT Daerah Dinas
Petemakan) atau pihak swasta dapat bertindak sebagai inti yang memelihara temak
bibit dasar. Bibit dasar
diperoleh dengan penjaringan
ternak yang mempunyai kualitas terbaik dalam hal:
1.
Daya reproduksi
2.
Pertumbuhan
3.
Tidak mempunyai cacat fisik atau turunan
4.
Bebas dari segala penyakit berbahaya.
Sementara
itu, UPT Daerah atau swasta lainnya dapat bertindak sebagai pemelihara temak
bibit induk dan selanjutnya peteranak memelihara. Kegiatan perbaikan mutu genetik dengan pola
terbuka (open nucleus breeding system, ONBS) dan penjaringan dengan metoda yang
tepat, benar, mudah dan murah perlu dimulai dan dilakukan secara konsisten, Hasil
dari penjaringan ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai replacement dan
sisanya baru disebarkan untuk keperiuan pengembangan atau komersial.
Pola ONBS ini sangat tepat dilakukan untuk
kawasan village breeding center (VBC) yang terintegrasi dengan pusat pembibitan
ternak unggul, dimana output utamanya adalah pejantan unggul yang akan
dipergunakan oleh Balai (Besar) Inseminasi Buatan. Ancaman terbesar untuk
menerapkan ONBS adalah masuknya
penyakit ketika dilakukan penjaringan sapi betina dari VBC
yang dimasukkan dalam populasi inti.
Kawasan pembibitan pada prinsipnya hams bebas penyakit menular.
Pengadaan pejantan unggul diperlukan Dalam
suatu wilayah atau kelompok peternak kerbau pada lokasi yang strategis,
sehingga mudah dijangkau oleh semua peternak dalam kelompok tersebut, hal ini
akan sangat membantu dalam meningkatkan populasi dan produktivitas kerbau.
Jika perkawinan dilakukan secara
alam, maka pejantan dapat digilir untuk setiap kelompok.
Seleksi atau pemilihan calon induk dan
pejantan bertujuan untuk menghasilkan anak atau turunan yang baik pada generasi
mendatang. Hal penting yang hams dijadikan prinsip utama dalam pemilihan calon
induk dan pejantan adalah standar temak yang akan diseleksi perlu disesuaikan
dengan permintaan konsumen atau pasar. Misalnya, pemilihan calon induk dan
pejantan diarahkan untuk menghasilkan temak pedaging, tangkas (balapan), atau penghasil susu.
Kendala dalam seleksi ternak kerbau adalah
masih lemahnya identifikasi temak dan rekording yang dilakukan. Seleksi akan
dapat beijalan dengan baik jika didasarkan pada identifikasi dan rekording data
yang akurat. Petemak di Indonesia sebagaian besar belum melakukan indentifikasi
maupun recording. Kondisi ini memungkinkan teijadinya kawin dalam keluarga
antara bapak dengan anak, atau sebaliknya antara anak dengan induk, yang pada
gilirannya akan meningkatkan tingkat inbreeding.
Beberapa Problematika Pengembangan
Populasi Kerbau
Kerbau memiliki
beberapa keunggulan tetapi juga tidak terlepas dari adanya kelemahan. Perkembangan
populasi kerbau terlihat agak lamban dibandingkan dengan temak sapi. Secara
nasional perbandingannya sekitar 20% kerbau dan 80% sapi dan ratio ini masih
berlangsung sampai saat ini.
Kondisi tersebut diatas antara lain dapat
disebabkan karena dua factor yaitu factor
eksternal dan factor internal
1) Faktor
internal
a. Masak lambat
Kerbau termasuk ternak
yang lambat di dalam mencapai dewasa kelamin (Subiyanto, 2010). Pada umumnya
kerbau mencapai pubertas pada usia yang lebih tua, sehingga kerbau mencapai
dewasa kelamin pada usia minimal 3 tahun (Toelihere, 1985; Do Kim Tuyen dan
Nguyen Van LY, 2001); 2 – 3 tahun (Lendhanie, 2005); 2 – 2,5 (Subiyanto, 2010).
b. Lama Bunting
Lama bunting pada
kerbau bervariasi dari 300 – 334 hari (rata-rata 310 hari) atau secara kasar 10
bulan 10 hari. Kerbau akan mengandung anaknya selama ± 10,5 bulan, sedangkan
sapi hanya 9 bulan. Menurut Keman (2006)
c. Berahi tenang
Tanda-tanda berahi pada
kerbau, umumnya tidak tampak jelas (Subiyanto, 2010). Sifat ini menyulitkan
pada pengamatan berahi untuk program inseminasi buatan. Meskipun fenomena ini
bisa diatasi dengan menggunakan jantan, namun kelangkaan jantan dan system
pemeliharaan yang terkurung memungkinkan perkawinan tidak terjadi.
d. Waktu berahi
Umumnya berahi pada
kerbau terjadi pada saat menjelang malam sampai agak malam dan menjelang pagi
atau saat subuh atau lebih pagi (Toelihere, 2001).
e. Jarak beranak yang panjang
Jarak beranak yang
panjang merupakan implikasi dari sifat-sifat reproduksi lainnya. Pada kerbau
kerja jarak beranak bervariasi dari 350 sampai 800 hari dengan rata-rata 553
hari (Keman, 2006). Menurut Hill (1988) jarak beranak pada kerbau bervariasi
dari 334 hari sampai 650 hari, tergantung pada manajemen yang dilakukan.
Menurut Landhanie (2005) jarak beranak pada kerbau rawa antara 18 sampai 24
bulan.
f. Beranak pertama
Panjang sifat-sifat
produksi lain akan berpengaruh langsung terhadap beranak pertama pada kerbau.
Hasil survei di Indonesia terutama di NAD, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
NTB dan Sulawesi Selatan, umur pertama kali kerbau beranak masing-masing 45,0;
49,6; 47,7; 49,1; 45,6 dan 49,2 bulan dengan rata-rata 47,7 bulan (Anonimaus,
1985 yang dikutip Keman, 2006). Sementara itu, di Brebes, Pemalang, Semarang
dan Pati rata-rata umur kerbau pertama kali beranak, berturutturut adalah 44,
40, 44 dan 42 bulan (Suryanto, et al. 2002 yang dikutip Keman, 2006).
2) Faktor
Eksternal
Diantara
faktor eksternal, ada yang berpengaruh langsung terhadap performan reproduksi
dan ada yang berpengaruh tidak langsung. Faktor eksternal yang berpengaruh
langsung terhadap performa reproduksi adalah:
a. Pakan
Kontribusi pakan sangat
kuat pengaruhnya terhadap performan reproduksi. Makanan berperan penting dalam
perkembangan umum dari tubuh dan reproduktip (Tillman et al.,1983).
Peternak kerbau di negara kita pada dasarnya merupakan peternak tradisional dan
merupakan kegiatan yang turun menurun sehingga pemberian pakan umumnya di dapat
pada saat digembalakan. Rumput yang tumbuh di lapangan, di pematang sawah atau
pinggirpinggir jalan adalah pakan yang tersedia pada saat digembalakan. Pakan
yang diberikan di kandang umumnya jerami kering yang kadang-kadang disiram
larutan garam dapur. Pada musim kemarau ketersediaan rumput alam akan sangat
menurun jumlahnya dan secara langsung akan berpengaruh terhadap asupan pakan
pada ternak. Pakan dengan kualitas dan kuantitas seperti ini akan berpengaruh
tidak baik terhadap performa reproduksi. Diperparah lagi oleh tugas yang harus
dilakukan pada saat musim mengolah sawah. Meskipun salah satu keunggulan kerbau
adalah mampu memanfaatkan pakan dengan kualitas rendah, namun untuk mendapatkan
performan reproduksi yang baik memerlukan makanan yang cukup, baik kualitas maupun
kuantitas.
b. Sosial Budaya
Beberapa daerah di
Indonesia yang secara sosial budaya berkaitan dengan kerbau menunjukkan
populasi kerbau yang tinggi. Keterkaitannya bisa berupa dalam adat istiadat
atau kebutuhan tenaga kerja. NTB, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Sulawesi
Selatan keterkaitannya lebih pada adat istiadat yang turun temurun. Di Sumatera
Barat, kerbau mempunyai arti sosial yang sangat khas. Rumah adat dan
perkantoran pemerintah mempunyai bentuk atap yang melengkung melambangkan
bentuk tanduk kerbau. Diduga kata “Minangkabau” berasal dari “Menang Kerbau
(Hardjosubroto, 2006).
Pada masyarakat Batak
dikenal upacara kematian seperti saur matua dan mangokal hili. Bagian dari
rangkaian upacara tersebut biasanya dilaksanakan pesta syukuran adat yang disertai
pemotongan kerbau. Pemotongan kerbau juga dilakukan pada saat upacara
perkawinan, horja bius (acara penghormatan terhadap leluhur, dan pendirian
rumah adat (Susilowati, 2008).
Bagi etnis Toraja,
khususnya Toraja Sa’dan, kerbau adalah binatang paling penting dalam kehidupan
sosial mereka (Nooy-Palm, 2003 yang dikutip Stapanus, 2008) Selain sebagai
hewan untuk memenuhi kehidupan sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional,
kerbau juga menjadi alat takaran status sosial dan alat transaksi. Dari sisi sosial,
kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya (Issudarsono, 1976
yang dikutip Stephanus, 2008). Kerbau juga merupakan hewan domestik yang sering
dikaitkan dengan kehidupan masyarakat yang bermata pencaharian di bidang
pertanian.
Di Banten, kerbau
selain digunakan sebagai hewan kerja juga masyarakatnya sangat fanatic terhadap
daging kerbau. Menurut Patheram dan Liem(1982) selera masyarakat Banten
terhadap daging kerbau cukup tinggi dibandingkan dengan daging sapi. Di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur lebih pada kebutuhan tenaga kerja. Hal ini
menunjukan bahwa budaya masyarakat sangat berperan terhadap perkembangan
populasi kerbau. Populasi kerbau di Indonesia terdapat di seluruh provinsi,
karena kerbau mempunyai daya adaptasi yang sangat tinggi. Kerbau bias
berkembang mulai dari daerah kering di NTT dan NTB, lahan pertanian yang subur
di Jawa hingga lahan rawa di Sulawesi Selatan, Kalimantan dan daerah pantai
utara Sumatera (Asahan sampai Palembang). Selain itu pengembangannya juga tidak
akan menghadapi hambatan selera, budaya dan agama.
Selain
beberapa hal diatas, penurunan
populasi juga diduga berkaitan dengan sistem pengusahaannya yang masih secara
tradisional. Penyebab lainnya adalah tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya
pakan dan padang penggembalaan alami akibat alih fungsi/konversi lahan ke
penggunaan lain (seperti perumahan dan industri). Selain itu, peran kerbau pada
sistem usaha tani belum berorientasi agribisnis serta ketersediaan bibit unggul yang
masih sangat terbatas.
Permasalahan lain yang umum dihadapi di beberapa daerah
adalah kelangkaan kerbau jantan sebagai pemacek, sehingga diperkirakan terjadi
inbreeding yang tinggi, tingginya yang menurunkan mutu bibit, Namun hal ini
dapat ditekan dengan adanya upaya-upaya melalui perbaikan teknologi (bibit,
manajemen, pakan) serta pencegahan dan pengendalian penyakit. Disamping itu perlu adanya upaya peningkatan
produktivitas kerbau melalui program
pemuliaan berkelanjutan.
Upaya Mengatasi Problematika Pengembangan Ternak Kerbau
Banyak
faktor yang harus dilakukan dalam rangka meningkatkan populasi dan kualitas
kerbau. Namun yang bisa dilakukan melalui efisiensi reproduksi adalah:
ü Komitmen
yang berkelanjutan. Penurunan populasi kerbau di daerah-daerah tertentu sudah lama
terjadi, namun sampai sejauh ini dorongan pemerintah, terutama pemerintah
daerah belum nyata mendorong perkembangan populasi di daerahnya masing-masing.
Tidak sedikit peternak kerbau berlokasi jauh dari pusat pemerintahan sehingga
banyak yang tidak tersentuh oleh laju pembangunan. Fasilitas untuk peningkatan
populasi baik software maupun hardware belum sampai ketangan peternak kerbau.
ü Pembentukan
kelompok ternak memungkinkan dapat mendorong peningkatan populasi. Dalam
kelompok para peternak bisa merencanakan usaha yang akan dilakukan sehubungan
dengan peningkatan populasi, termasuk terbentuknya kandang kelompok.
ü Melakukan
seleksi, baik pada kerbau betina maupun pada kerbau jantan, terutama pada
kerbau jantan. Mengingat satu ekor jantan dalam 1 tahun mampu mengawini 50 ekor
betina dan bila semua berhasil bunting maka akan lahir anak kerbau yang
genetikanya baik. Peran pemerintah disini melakukan penjaringan agar fenomena
yang sudah lama terjadi ini bisa dihentikan minimal dikurangi.
ü Peternak
yang memiliki kerbau yang baik dan memenuhi standar bibit perlu mendapat
penghargaan dengan memberikan sertifikat. Hal ini bias merangsang prestasi
selanjutnya dan akan berpengaruh positif terhadap lingkungan.
ü Mengembangkan
program inseminasi buatan pada daerah-daerah yang padat populasi kerbaunya. Penerapan
inseminasi buatan (IB) pada kerbau adalah salah satu cara untuk mengatasi
terbatasnya pejantan unggul sepanjang secara sosial ekonomi dapat
dipertanggungjawabkan (Subiyanto, 2010) Peran pemerintah harus mengaktifkan
kembali produksi mani beku kerbau di Balai-Balai Inseminasi Buatan. Dengan
Inseminasi Buatan juga dapat mencegah terjadinya kawin silang dalam.
ü Peningkatan
pendidikan inseminator. Inseminasi Buatan pada ternak bukan pekerjaan mudah.
Untuk itu diperlukan pengetahuan dan keterampilan, lebih-lebih pada kerbau yang
saat berahinya sulit diamati. Pada saat ini dengan meningkatnya pengetahuan dan
keterampilan para inseminator, inseminasi buatan pada sapi potong sudah biasa
dilakukan dengan prestasi yang baik.
ü Lokasi
peternak kerbau yang umumnya masih berjauhan, akan menyulitkan pelaksanaan
inseminasi buatan. Seorang inseminator mungkin saja melayani peternak yang
jaraknya dari pos bias belasan kilometer. Dalam rangka mempercepat peningkatan
populasi maka program sinkronisasi birahi waktu pelaksanaan dan jumlah yang
akan diinseminasi bisa diatur dan fasilitas inseminasi bisa lebih efisien.
Penggunaan teknik sinkronisasi birahi akan mampu meningkatkan efisiensi
produksi dan reproduksi kelompok ternak, disamping juga mengoptimalisasi
pelaksanaan inseminasi buatan dan meningkatkan fertilitas kelompok (Wenkop,
1986 yang dikutip Sujarwo).
ü Untuk
meningkatkan mutu genetik kerbau di suatu wilayah, bisa dilakukkan dengan
membeli pejantan unggul hasil seleksi dari wilayah lain atau menggunakan
pejantan IB. Persilangan dengan tipe kerbau lain seperti dengan tipe perah juga
biasa dilakukan dengan harapan keturunannya bias menghasilkan susu yang lebih
banyak, minimal bisa memberi susu keturunannya dalam jumlah yang mencukupi.
Upaya
yang dilakukan untuk memperbaiki rendahnya produktivitas dan
meningkatkan eksistensi kerbau rawa jangka panjang dan berkelanjutan adalah:
ü Perlindungan,
pelestarian dan pengelolaan ternak kerbau berkelanjutan, meliputi:
a)
Peningkatan mutu genetik kerbau rawa
atau kerbau lumpur lain yang ada di Kalimantan Selatan melalui grading up,
b)
Revitalisasi dan pengembangan kawasan
perbibitan ternak kerbau rakyat melalui penataan kelompok, dan
c)
Pelaksanaan biosekuriti secara tepat
terutama pada kawasan perbibitan.
ü Pengadaan
dan pengembangan bibit kerbau, meliputi;
a)
Melaksanakan program seleksi dan afkir (culling)
secara lebih sistematis, dan
b)
Menyebarluaskan bibit unggul hasil
seleksi dan telah memperoleh justifikasi dari lembaga berwenang baik pusat/
daerah.
ü Program
pemuliabiakan untuk memperoleh bibit yang baik, terdiri atas:
a)
Seleksi untuk peningkatan populasi dan
produktivitas,
b)
Persilangan secara sistematis dan
terarah, dan
c)
Program pencatatan (recording system)
terutama di lokasi yang diarahkan pembibitan dan sertifikasi bibit (Toelihere
dan Achjadi, 2005).
Perbaikan
manajemen
budidaya merupakan
salah satu strategi yang dianggap efektif untuk mendukung pengembangan
pembibitan kerbau. Aspek utama yang harus diperbaiki dalam
manajemen budidaya kerbau adalah: penyediaan bibit unggul, peningkatan
kualitas pakan, teknik reproduksi,
dan pengawasan kesehatan. Untuk
mendukung perbaikan manajemen budidaya
tersebut diperlukan sentuhan permodalan,
pemasaran dan aspek penyuluhan.
1)
Bibit
unggul
Bibit adalah semua
hasil pemuliaan ternak yang memenuhi persyaratan tertentu untuk
dikembangbiakkan. Bibit kerbau diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok,
yaitu:
a) bibit
dasar (elite/foundation stock), diperoleh dari proses seleksi rumpun atau galur
yang mempunyai nilai pemuliaan di atas nilai rata-rata;
b) bibit
induk (breeding stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit dasar;
c) bibit
sebar (commercial stock), diperoleh dari proses pengembangan bibit induk.
Persyaratan
umum bibit kerbau yang harus terpenuhi
adalah
a. kerbau
bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata
(kebutaan), tanduk patah, pincang,
lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang
punggung atau cacat tubuh lainnya;
b. semua
kerbau bibit betina harus bebas dari cacat alat
reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukan gejala kemandulan;
c. kerbau
bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada alat
kelaminnya.
Persyaratan
khusus yang harus dipenuhi bibit unggul
adalah meliputi:
a. kulit
berwarna abu-abu, hitam, bulu berwarna abuabu sampai hitam;
b. tanduk
mengarah ke belakang horizontal, bentuk bulan panjang dengan bagian ujung yang
meruncing serta membentuk setengah lingkaran;
c. kondisi
badan baik, bagian belakang penuh dengan otot
yang berkembang;
d. leher
kompak dan kuat serta mempunyai proporsi
yang sebanding dengan badan dan kepala;
e. ambing
berkembang dan simetris
2)
Pakan
Sebagian besar
pakan yang dikonsumsi ternak ruminansia berasal dari hijauan (60 %), baik dalam
bentuk segar maupun bahan kering
(Subiyanto, 2010). Pakan yang
dianjurkan sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian NOMOR 56/Permentan/OT.140/10/2006 tentang pedoman
pembibitan kerbau yang baik (good breeding practice), yaitu;
a. Setiap
usaha pembibitan kerbau harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari
pakan hijauan, maupun pakan konsentrat;
b. pakan
hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan
dedaunan yang mempunyai kadar sera yang
relative tinggi dan kadar energi
rendah. Kualitas pakan hijauan tergantung umur pemotongan, palatabilitas dan
ada tidaknya zat toksik (beracun) dan
anti nutrisi;
c. Pakan
konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak
terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia,
obat- obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara
pengimpor;
d. Air
minum disediakan tidak terbatas (ad-libitum).
3)
Obat
Hewan
a. Obat
hewan yang digunaka meliputi sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat
alami.
b. Obat
hewan yang dipergunakan seperti bahan kimia dan bahan biologik harus memiliki
nomor pendaftaran. Untuk sediaan obat alami tidak dipersyaratkan memiliki nomor
pendaftaran.
c. Penggunaan
obat keras harus dibawah pengawasan dokter hewan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang obat hewan.
Sumber :
Budi, 2007. Peningkatan Produktivitas Kerbau Lumpur (Swamp
Buffalo) di
Indonesia Melalui Kegiatan Pemuliaan Ternak Berkelanjutan (Review). Seminar
Nasional Peternakan-Perikanan 2007.
Laboratorium Pemuliaan Ternak dan Biometrika. http://disnakkeswan.lampungprov.go.id/dadam/7_peningkatan_produktifitas_kerbau_lumpur.pdf
.
Suryana, 2007. Usaha Pengembangan
Kerbau Rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Litbang Pertanian, 26(4), 2007. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
Kalimantan Selatan. http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/p3264073.pdf.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar