Rabu, 03 Juli 2013

Industri Farmasi







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yangmemungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraanmanusia sehingga menjadi prioritas dalam pembangunan nasional suatu bangsa.Salah satu komponen kesehatan yang sangat penting adalah tersedianya obatsebagai bagian dari pelayanan kesehatan masyarakat. Hal itu disebabkankarena obat digunakan untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan ataumemelihara kesehatan. Industri farmasi sebagai industri penghasil obat,memiliki peran strategis dalam usaha pelayanan kesehatan kepada masyarakat.Seiring dengan meningkatnya pendidikan dan tingkat kesadaran masyarakatakan arti pentingnya kesehatan, maka industri farmasi dituntut untuk menyediakan obat dalam jenis dan jumlah yang memadai serta kualitas yangbaik. 
Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukanpekerjaan kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutusediaan farmasi, pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengembanganobat. Untuk menghasilkan produk obat yang bermutu, aman dan berkhasiatdiperlukan suatu tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi perencanaan, pengendalian dan pemantauan bahan awal, proses pembuatan sertapengawasan terhadap mutu, peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene,sanitasi serta personalia yang terlibat di setiap proses produksi.

B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai berikut:
           1.      Apa itu industri farmasi?
           2.      Bagaimana Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)?
C.    Tujuan Masalah
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
           1.      Untuk mengetahui tentang industri farmasi
           2.      Untuk mengetahui tentang Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)



BAB II
PEMBAHASAN
A.     Industri Farmasi
1.      Pengertian Industri Farmasi
Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi. Industri Farmasi adalah Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi.
2.      Persyaratan Industri Farmasi
Perusahaan industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi, karena itu industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai berikut :
a.       Industri farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukum berbentuk Perseroan Terbatas atau Koperasi.
b.      Memiliki rencana investasi
c.       Memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d.      Industri farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan ketentuan SK Menteri Kesehatan No. 43/Menkes/SK/II/1988
e.       Industri farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secara tetap sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia, masing-masing sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu sesuai dengan persyaratan CPOB
f.       Obat jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.      Izin Usaha Industri Farmasi
Izin usaha industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin setiap 5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.
4.      Pencabutan Izin Usaha Industri Farmasi
Pencabutan izin usaha industri farmasi dapat terjadi karena beberapa hal :
1.      Melakukan pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan tanpa memiliki izin
2.      Tidak menyampaikan informasi mengenai perkembangan industri secara berturut-turut tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar
3.      Melakukan pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
4.      Dengan sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu)
5.      Tidak memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.
B.     Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
CPOB merupakan suatu konsep dalam industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi, yang diproduksi dengan menerapkan “Good Manufacturing Practices ” dalam seluruh aspek dan rangkaian kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
CPOB bertujuan untuk menjamin obat dibuat secara konsisten memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian mutu (BPOM, 2006) Aspek dalam CPOB 2006 meliputi :
           1.      Manajemen Mutu
Industri farmasi harus membuat obat sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif. Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu “Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan manajemen mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar (BPOM, 2006).
Kebijakan mutu hendaklah disosialisasikan kepada semua karyawan dengan cara yang efektif, tidak cukup dengan cara membagikan fotokopinya dan/atau menempelkan pada dinding. Untuk melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2 unsur dasar yaitu :
1.      Sistem mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan kewajiban semua sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang mengatur proses yang ada
2.      Tindakan sistematis untuk melaksanakan system mutu, yang disebut dengan pemastian mutu atau Quality Assurance (QA) (BPOM, 2009).
            2.      Personalia
Suatu industri farmasi bertanggung jawab menyediakan personil yang sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang memadai agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Semua personil harus memahami prinsip CPOB agar produk yang dihasilkan bermutu (BPOM, 2009).
Kesehatan personil hendaklah dilakukan pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan (mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, personil produksi dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang dibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya (BPOM, 2009).
Dalam kualifikasi dan pengalaman personil yang diperlukan untuk tiap posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat ditampilkan pada Uraian Tugas masing-masing (BPOM, 2009).
Jumlah personil yang memadai sangat mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala akibatnya. Disamping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya mengakibatkan kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental baik bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi personil pada tingkat lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM, 2009).
Kategori personil kunci bergantung pada kebijakan perusahaan/industri apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu). Industri dapat menentukan posisi lain yang lebih tinggi, sama atau lebih rendah dicakup dalam kategori personil kunci. Yang harus dipertahankan adalah semua Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Manajemen Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian pengawasan Mutu harus independen satu terhadap yang lain(BPOM 2009).
            3.      Bangunan dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain yang dapat menurunkan mutu obat.
Rancang bangunan hendaklah dibuat sehingga untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya dikelompokkan. Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih tinggi (BPOM 2009).
Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak tahap perencanaan konstruksi bangunan demi keefektifan semua kegiatan, kelancaran arus kerja, komunikasi, dan pengawasan serta untuk menghindari ketidakteraturan.
            4.      Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta perawatan (BPOM, 2006).
            5.      Sanitasi dan Hygiene
Tingkat sanitasi dan hygiene yang tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk. Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan hygiene yang menyeluruh serta terpadu. Sanitasi dan hygiene yang diatur dalam pedoman CPOB 2006 adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur sanitasi dan hygiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan.
            6.      Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin pembuatan serta izin edar (registrasi) sesuai dengan spesifikasinya (BPOM, 2006).
Selain itu, produksi baiknya dilakukan dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal, penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan hygiene sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah :
a.       Adanya keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets
b.      Proses produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik mungkin (dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang akan diproduksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam produksi antara lain:
1.      Pengadaan Bahan Awal
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan tanggal daluarsa (BPOM, 2006).
2.      Pencegahan Pencemaran Silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini dapat timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan pakaian kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis pencemar dan produk yang tercemar.
3.      Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi dan memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas, produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan masih belum daluarsa yang boleh diserahkan (BPOM, 2006).
4.      Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (BPOM, 2006).
5.      Pengolahan
Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum dipakai. Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan hendaklah diperiksa sebelum digunakan. Peralatan hendaklah dinyatakan bersih secara tertulis sebelum digunakan. Semua kegiatan pengolahan hendaklah dilaksanakan mengikusi prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah dilaporkan. Semua produk antara hendaklah diberi label yang benar dan dikarantina sampai diluluskan oleh bagian pengawasan mutu (BPOM, 2006).
6.      Kegiatan Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi produk jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang diberikan dan menggunakan bahan pengemas yang tercantum dalam prosedur pengemasan induk. Rincian pelaksanaan pengemasan hendaklah dicatat dalam catatan pengemasan bets.
7.      Pengawasan Selama Proses
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup :
·         Semua parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat awal dan selama proses pengolahan atau pengemasan.
·         Kemasan akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang teratur untuk memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan semua komponen sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan induk.
8.      Karantina Produk Jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian sebelum penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi semua spesifikasi yang ditentukan.
           7.      Pengawasan Mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang essensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk. Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan (BPOM, 2006).
Pengawasan mutu hendaklah mencakup semua kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan sampel, pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode pengujiannya (BPOM, 2006).
Area laboratorium pengawasan mutu hendaklah terpisah dari area produksi. Selain itu bagi suatu laboratorium untuk pengawasan selama proses mungkin lebih memudahkan apabila letaknya di daerah tempat pembuatan atau pengemasan dimana dilakukan pengujian fisik seperti penimbangan dan uji monitoring lainnya secara periodik.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang diperlukan. 
            8.      Inspeksi diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi memenuhi ketentuan CPOB (BPOM, 2006).
Inspeksi diri hendaklah dilakukan secara independen oleh orang yang kompeten yaitu terkualifikasi dan mempunyai pengalaman yang memadai dalam melakukan inspeksi diri. Inspeksi diri dapat dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan dengan membentuk suatu tim atau oleh konsultan yang independen dari luar perusahaan. Inspeksi diri hendaklah mencakup semua bagian yaitu pemastian mutu, produksi, pengaweasan mutu, teknik dan gudang (termasuk gudang obat jadi, Bahan baku, dan bahan pengemas) (BPOM, 2009).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik namun inspeksi diri yang dilakukan secara menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri (BPOM, 2009).
            9.      Penanganan Keluhan terhadap Produk, Penarikan Produk dan Produk Kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerusakan obat dapat bersumber dari dalam maupun dari luar industri, dan memerlukan penanganan dan pengkajian secara teliti (BPOM, 2009).
Keluhan/informasi yang bersumber dari dalam industri antara lain dapat dari bagian produksi, bagian pengawasan mutu, bagian gudang dan bagian pemasaran, sementara dari luar industri antara lain dapat berasal dari pasien, dokter, paramedis, klinik, rumah sakit, apotek, distributor, dll (BPOM, 2009).
Penarikan kembali obat jadi dapat berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh obat jadi tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila ditemukan produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau atas dasar pertimbangan adanya efek samping yang tidak diperhitungkan yang merugikan kesehatan (BPOM, 2009).
Produk kembalian adalah obat jadi yang telah keluar dari industri dan beredar yang kemudian dikembalikan ke industri karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa, atau alasan lain misalnya mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan keraguan akan keamanan, identitas, mutu serta kesalahan administratif yang menyangkut jumlah dan jenis (BPOM, 2009).
            10.  Dokumentasi
Dokumentasi pembuatan obat merupakan bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan bagian yang sangat penting dari pemastian mutu (BPOM, 2006). Sistem dokumentasi yang dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan, memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan mutu (BPOM, 2009). Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap personil menerima uraian tugas secara jelas dan rinci sehingga memperkecil resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan komunikasi lisan (BPOM, 2006).
            11.  Pembuatan dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala bagian manajemen mutu (pemastian mutu).
            12.  Kualifikasi dan Validasi
Validasi adalah tindakan pembuktian dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem, perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi maupun pengawasan mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (CPOB, 2006).
CPOB mengisyaratkan industri farmasi untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian resiko hendaklah digunakan untuk menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.
Seluruh kegiatan validasi hendaklah direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV hendaklah mencakup sekurang-kurangnya adalah kebijakan validasi, struktur organisasi kegiatan validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan divalidasi, format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang digunakan.
  
  
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik. Badan Pengawasan Obat
dan Makanan. Jakarta.

Anonim, 2001. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Anonim, 2006. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.

Anonim, 2009. Petunjuk Operasional Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan Obat dan Makanan, Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar