BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kesehatan menurut Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial
yangmemungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Kesehatan merupakan salah satu indikator tingkat kesejahteraanmanusia
sehingga menjadi prioritas dalam pembangunan nasional suatu bangsa.Salah satu
komponen kesehatan yang sangat penting adalah tersedianya obatsebagai bagian
dari pelayanan kesehatan masyarakat. Hal itu disebabkankarena obat digunakan
untuk menyelamatkan jiwa, memulihkan ataumemelihara kesehatan. Industri farmasi
sebagai industri penghasil obat,memiliki peran strategis dalam usaha pelayanan
kesehatan kepada masyarakat.Seiring dengan meningkatnya pendidikan dan tingkat
kesadaran masyarakatakan arti pentingnya kesehatan, maka industri farmasi
dituntut untuk menyediakan obat dalam jenis dan jumlah yang memadai serta
kualitas yangbaik.
Industri farmasi merupakan salah satu tempat Apoteker melakukanpekerjaan
kefarmasian terutama menyangkut pembuatan, pengendalian mutusediaan farmasi,
pengadaan, penyimpanan, pendistribusian dan pengembanganobat. Untuk
menghasilkan produk obat yang bermutu, aman dan berkhasiatdiperlukan suatu
tahap kegiatan yang sesuai CPOB yang meliputi perencanaan, pengendalian dan
pemantauan bahan awal, proses pembuatan sertapengawasan terhadap mutu,
peralatan yang digunakan, bangunan, hygiene,sanitasi serta personalia yang
terlibat di setiap proses produksi.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah adalah sebagai
berikut:
1. Apa itu
industri farmasi?
2. Bagaimana Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)?
C. Tujuan Masalah
Adapun tujuannya adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui tentang industri farmasi
2. Untuk
mengetahui tentang Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Industri Farmasi
1.
Pengertian Industri Farmasi
Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/MenKes/SK/V/1990 tentang Ketentuan
dan Tata Cara Pelaksanaan Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi. Industri
Farmasi adalah Industri Obat Jadi dan Industri Bahan Baku Obat. Definisi dari
obat jadi yaitu sediaan atau paduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk
mempengaruhi atau menyelediki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosa, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi. Sedangkan yang dimaksud dengan bahan baku obat
adalah bahan baik yang berkhasiat maupun yang tidak berkhasiat yang digunakan
dalam pengolahan obat dengan standar mutu sebagai bahan farmasi.
2.
Persyaratan Industri Farmasi
Perusahaan
industri farmasi wajib memperoleh izin usaha industri farmasi, karena itu
industri tersebut wajib memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan. Persyaratan industri farmasi tercantum dalam Surat Keputusan Menteri
Kesehatan RI No. 245//Menkes/SK/V/1990 adalah sebagai berikut :
a.
Industri
farmasi merupakan suatu perusahaan umum, badan hukum berbentuk Perseroan
Terbatas atau Koperasi.
b.
Memiliki
rencana investasi
c.
Memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
d.
Industri
farmasi obat jadi dan bahan baku wajib memenuhi persyaratan CPOB sesuai dengan
ketentuan SK Menteri Kesehatan No. 43/Menkes/SK/II/1988
e.
Industri
farmasi obat jadi dan bahan baku, wajib mempekerjakan secara tetap
sekurang-kurangnya dua orang apoteker warga Negara Indonesia, masing-masing
sebagai penanggung jawab produksi dan penanggung jawab pengawasan mutu sesuai
dengan persyaratan CPOB
f.
Obat
jadi yang diproduksi oleh industri farmasi hanya dapat diedarkan setelah
memperoleh izin edar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Izin Usaha Industri Farmasi
Izin usaha
industri farmasi diberikan oleh Menteri Kesehatan dan wewenang pemberian izin
dilimpahkan kepada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM). Izin ini berlaku
seterusnya selama industri tersebut berproduksi dengan perpanjangan izin setiap
5 tahun, sedangkan untuk industri farmasi Penanaman Modal Asing (PMA) masa
berlakunya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing dan pelaksanaannya.
4.
Pencabutan Izin Usaha Industri
Farmasi
Pencabutan
izin usaha industri farmasi dapat terjadi karena beberapa hal :
1.
Melakukan
pemindahtanganan hak milik izin usaha industri farmasi dan perluasan tanpa memiliki
izin
2.
Tidak
menyampaikan informasi mengenai perkembangan industri secara berturut-turut
tiga kali atau dengan sengaja menyampaikan informasi yang tidak benar
3.
Melakukan
pemindahan lokasi usaha industri tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu
4.
Dengan
sengaja memproduksi obat jadi atau bahan baku obat yang tidak memenuhi
persyaratan dan ketentuan yang berlaku (obat palsu)
5.
Tidak
memenuhi ketentuan dalam izin usaha industri farmasi.
B.
Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB)
CPOB merupakan suatu konsep dalam
industri farmasi mengenai prosedur atau langkah-langkah yang dilakukan dalam
suatu industri farmasi untuk menjamin mutu obat jadi, yang diproduksi dengan
menerapkan “Good Manufacturing Practices ” dalam seluruh aspek dan rangkaian
kegiatan produksi sehingga obat yang dihasilkan senantiasa memenuhi persyaratan
mutu yang ditentukan sesuai dengan tujuan penggunaannya.
CPOB bertujuan untuk menjamin obat
dibuat secara konsisten memenuhi persyaratan yang ditetapkan dan sesuai dengan
tujuan penggunaannya. CPOB mencakup seluruh aspek produksi dan pengendalian
mutu (BPOM, 2006) Aspek dalam CPOB 2006 meliputi :
1. Manajemen
Mutu
Industri farmasi harus membuat obat
sedemikian rupa agar sesuai dengan tujuan penggunaannya, memenuhi persyaratan
yang tercantum dalam izin edar (registrasi) dan tidak menimbulkan resiko yang
membahayakan penggunanya karena tidak aman, mutu rendah atau tidak efektif.
Manajemen mutu bertanggung jawab untuk pencapaian tujuan ini melalui suatu
“Kebijakan Mutu”, yang memerlukan partisipasi dan komitmen dari semua jajaran di
semua departemen di dalam perusahaan, para pemasok dan para distributor. Untuk
mencapai tujuan mutu secara konsisten dan dapat diandalkan diperlukan manajemen
mutu yang didesain secara menyeluruh dan diterapkan secara benar (BPOM, 2006).
Kebijakan mutu hendaklah
disosialisasikan kepada semua karyawan dengan cara yang efektif, tidak cukup
dengan cara membagikan fotokopinya dan/atau menempelkan pada dinding. Untuk
melaksanakan Kebijakan Mutu dibutuhkan 2 unsur dasar yaitu :
1.
Sistem
mutu yang mengatur struktur organisasi, tanggung jawab dan kewajiban semua
sumber daya yang diperlukan, semua prosedur yang mengatur proses yang ada
2.
Tindakan
sistematis untuk melaksanakan system mutu, yang disebut dengan pemastian mutu
atau Quality
Assurance (QA) (BPOM,
2009).
2. Personalia
Suatu industri farmasi bertanggung
jawab menyediakan personil yang sehat, terkualifikasi dan dalam jumlah yang
memadai agar proses produksi dapat berjalan dengan baik. Semua personil harus
memahami prinsip CPOB agar produk yang dihasilkan bermutu (BPOM, 2009).
Kesehatan personil hendaklah dilakukan
pada saat perekrutan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua calon karyawan
(mulai dari petugas kebersihan, pemasangan dan perawatan peralatan, personil
produksi dan pengawasan hingga personil tingkat manajerial) memiliki kesehatan
fisik dan mental yang baik sehingga tidak akan berdampak pada mutu produk yang
dibuat. Disamping itu hendaklah dibuat dan dilaksanakan program pemeriksaan
kesehatan berkala yang mencakup pemeriksaan jenis-jenis penyakit yang dapat
berdampak pada mutu dan kemurnian produk akhir. Untuk masing-masing karyawan
hendaklah ada catatan tentang kesehatan mental dan fisiknya (BPOM, 2009).
Dalam kualifikasi dan pengalaman
personil yang diperlukan untuk tiap posisi hendaklah ditetapkan secara tertulis
yang disimpan oleh bagian SDM, tapi juga dapat ditampilkan pada Uraian Tugas
masing-masing (BPOM, 2009).
Jumlah personil yang memadai sangat
mempengaruhi proses produksi. Kekurangan jumlah personil cenderung mempengaruhi
kualitas obat, karena tugas akan dilakukan secara tergesa-gesa dengan segala
akibatnya. Disamping itu, kekurangan jumlah karyawan biasanya mengakibatkan
kerja lembur sering dilakukan yang dapat menimbulkan kelelahan fisik dan mental
baik bagi operator ataupun supervisor atau malahan bagi personil pada tingkat
lebih atas yang melakukan evaluasi dan/atau mengambil keputusan (BPOM, 2009).
Kategori personil kunci bergantung pada
kebijakan perusahaan/industri apakah terbatas hanya pada Kepala Bagian
Produksi, Kepala Bagian Pengawasan Mutu dan Kepala Bagian Manajemen Mutu
(Pemastian Mutu). Industri dapat menentukan posisi lain yang lebih tinggi, sama
atau lebih rendah dicakup dalam kategori personil kunci. Yang harus
dipertahankan adalah semua Kepala Bagian Produksi dan Kepala Bagian Manajemen
Mutu (Pemastian Mutu)/Kepala Bagian pengawasan Mutu harus independen satu
terhadap yang lain(BPOM 2009).
3. Bangunan
dan Fasilitas
Bangunan dan fasilitas untuk pembuatan
obat hendaklah memiliki desain, konstruksi, letak yang memadai dan kondisi yang
sesuai serta perawatan yang dilakukan dengan baik untuk memudahkan pelaksanaan
operasi yang benar. Tata letak dan desain ruangan harus dibuat sedemikian rupa
untuk memperkecil terjadinya resiko kekeliruan, pencemaran silang dan kesalahan
lain serta memudahkan pembersihan, sanitasi dan perawatan yang efektif untuk
menghindari pencemaran silang, penumpukan debu atau kotoran dan dampak lain
yang dapat menurunkan mutu obat.
Rancang bangunan hendaklah dibuat
sehingga untuk kegiatan yang berhubungan langsung dengan daerah luar sarananya
dikelompokkan. Rancangan diatas perlu ditekankan agar tidak berdampak negatif
terhadap kegiatan produksi yang dilakukan di area dengan kelas kebersihan lebih
tinggi (BPOM 2009).
Tata letak ruang hendaklah dikaji sejak
tahap perencanaan konstruksi bangunan demi keefektifan semua kegiatan,
kelancaran arus kerja, komunikasi, dan pengawasan serta untuk menghindari
ketidakteraturan.
4. Peralatan
Peralatan untuk pembuatan obat
hendaklah memiliki desain dan konstruksi yang tepat, ukuran yang memadai serta
ditempatkan dan dikualifikasi dengan tepat agar mutu obat terjamin sesuai
desain serta seragam dari bets ke bets dan untuk memudahkan pembersihan serta
perawatan (BPOM, 2006).
5. Sanitasi
dan Hygiene
Tingkat sanitasi dan hygiene yang
tinggi hendaklah diterapkan pada setiap aspek pembuatan obat. Ruang lingkup
meliputi personalia, bangunan, peralatan, dan perlengkapan, bahan produksi
serta wadahnya, dan setiap hal yang dapat merupakan sumber pencemaran produk.
Sumber pencemaran hendaklah dihilangkan melalui suatu program sanitasi dan
hygiene yang menyeluruh serta terpadu. Sanitasi dan hygiene yang diatur dalam
pedoman CPOB 2006 adalah terhadap personalia, bangunan, dan peralatan. Prosedur
sanitasi dan hygiene hendaklah divalidasi serta dievaluasi secara berkala untuk
memastikan efektivitas prosedur dan selalu memenuhi persyaratan.
6. Produksi
Produksi hendaklah dilaksanakan dengan
mengikuti prosedur yang telah ditetapkan dan memenuhi ketentuan CPOB yang
senantiasa dapat menjamin produk obat jadi dan memenuhi ketentuan izin
pembuatan serta izin edar (registrasi) sesuai dengan spesifikasinya (BPOM,
2006).
Selain itu, produksi baiknya dilakukan
dan diawasi oleh personil yang kompeten. Mutu suatu obat tidak hanya ditentukan
oleh hasil analisa terhadap produk akhir, melainkan juga oleh mutu yang
dibangun selama tahapan proses produksi sejak pemilihan bahan awal,
penimbangan, proses produksi, personalia, bangunan, peralatan, kebersihan dan
hygiene sampai dengan pengemasan.
Prinsip utama produksi adalah :
a.
Adanya
keseragaman atau homogenitas dari bets ke bets
b.
Proses
produksi dan pengemasan senantiasa menghasilkan produk yang seidentik mungkin
(dalam batas syarat mutu) baik bagi bets yang sudah diproduksi maupun yang akan
diproduksi.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
produksi antara lain:
1.
Pengadaan Bahan Awal
Pengadaan bahan awal hendaklah hanya dari pemasok yang telah
disetujui dan memenuhi spesifikasi yang relevan. Semua penerimaan, pengeluaran
dan jumlah bahan tersisa hendaklah dicatat. Catatan hendaklah berisi keterangan
mengenai pasokan, nomor bets/lot, tanggal penerimaan, tanggal pelulusan, dan
tanggal daluarsa (BPOM, 2006).
2.
Pencegahan Pencemaran Silang
Tiap tahap proses, produk dan bahan hendaklah dilindungi
terhadap pencemaran mikroba dan pencemaran lain. Resiko pencemaran silang ini
dapat timbul akibat tidak terkendalinya debu, uap, percikan atau organisme dari
bahan atau produk yang sedang diproses, dari sisa yang tertinggal pada alat dan
pakaian kerja operator. Tingkat resiko pencemaran ini tergantung dari jenis
pencemar dan produk yang tercemar.
3.
Penimbangan dan Penyerahan
Penimbangan dan penyerahan bahan awal, bahan pengemas,
produk antara dan produk ruahan dianggap sebagai bagian dari siklus produksi
dan memerlukan dokumentasi yang lengkap. Hanya bahan awal, bahan pengemas,
produk antara dan produk ruahan yang telah diluluskan oleh pengawasan mutu dan
masih belum daluarsa yang boleh diserahkan (BPOM, 2006).
4.
Pengembalian
Semua bahan awal dan bahan pengemas yang dikembalikan ke
gudang penyimpanan hendaklah didokumentasikan dengan benar (BPOM, 2006).
5.
Pengolahan
Semua bahan yang dipakai di dalam pengolahan hendaklah
diperiksa sebelum dipakai. Semua peralatan yang dipakai dalam pengolahan
hendaklah diperiksa sebelum digunakan. Peralatan hendaklah dinyatakan bersih
secara tertulis sebelum digunakan. Semua kegiatan pengolahan hendaklah
dilaksanakan mengikusi prosedur yang tertulis. Tiap penyimpangan hendaklah
dilaporkan. Semua produk antara hendaklah diberi label yang benar dan
dikarantina sampai diluluskan oleh bagian pengawasan mutu (BPOM, 2006).
6.
Kegiatan Pengemasan
Kegiatan pengemasan berfungsi mengemas produk ruahan menjadi
produk jadi. Pengemasan hendaklah dilaksanakan di bawah pengendalian yang ketat
untuk menjaga identitas, keutuhan dan mutu produk akhir yang dikemas. Semua
kegiatan pengemasan hendaklah dilaksanakan sesuai dengan instruksi yang
diberikan dan menggunakan bahan pengemas yang tercantum dalam prosedur
pengemasan induk. Rincian pelaksanaan pengemasan hendaklah dicatat dalam
catatan pengemasan bets.
7.
Pengawasan Selama Proses
Pengawasan selama proses hendaklah mencakup :
·
Semua
parameter produk, volume atau jumlah isi produk diperiksa pada saat awal dan selama
proses pengolahan atau pengemasan.
·
Kemasan
akhir diperiksa selama proses pengemasan dengan selang waktu yang teratur untuk
memastikan kesesuaiannya dengan spesifikasi dan memastikan semua komponen
sesuai dengan yang ditetapkan dalam prosedur pengemasan induk.
8.
Karantina Produk Jadi
Karantina produk jadi merupakan tahap akhir pengendalian
sebelum penyerahan ke gudang dan siap untuk didistribusikan. Sebelum diluluskan
untuk diserahkan ke gudang, pengawasan yang ketat hendaklah dilaksanakan untuk
memastikan produk dan catatan pengolahan bets memenuhi semua spesifikasi yang
ditentukan.
7. Pengawasan
Mutu
Pengawasan mutu merupakan bagian yang
essensial dari CPOB untuk memberikan kepastian bahwa produk secara konsisten
mempunyai mutu yang sesuai dengan tujuan pemakaiannya. Keterlibatan dan
komitmen semua pihak yang berkepentingan pada semua tahap merupakan keharusan
untuk mencapai sasaran mutu mulai dari awal pembuatan sampai kepada distribusi
obat jadi. Pengawasan mutu tidak terbatas pada kegiatan laboratorium, tapi juga
harus terlibat dalam semua keputusan yang terkait dengan mutu produk.
Ketidaktergantungan pengawasan mutu dari produksi dianggap hal yang fundamental
agar pengawasan mutu dapat melakukan kegiatan dengan memuaskan (BPOM, 2006).
Pengawasan mutu hendaklah mencakup
semua kegiatan analitik yang dilakukan di laboratorium termasuk pengambilan
sampel, pemeriksaan pengujian bahan awal, produk antara, produk ruahan dan
produk jadi. Kegiatan ini mencakup juga uji stabilitas, program pemantauan
lingkungan, pengujian yang dilakukan dalam rangka validasi, penanganan sampel
pertinggal, menyusun dan memperbaharui spesifikasi bahan, produk serta metode
pengujiannya (BPOM, 2006).
Area laboratorium pengawasan mutu
hendaklah terpisah dari area produksi. Selain itu bagi suatu laboratorium untuk
pengawasan selama proses mungkin lebih memudahkan apabila letaknya di daerah
tempat pembuatan atau pengemasan dimana dilakukan pengujian fisik seperti
penimbangan dan uji monitoring lainnya secara periodik.
Dokumentasi dan prosedur pelulusan yang
diterapkan bagian pengawasan mutu hendaklah menjamin bahwa pengujian yang
diperlukan telah dilakukan sebelum bahan digunakan dalam produksi dan produk
disetujui sebelum didistribusikan. Personil pengawasan mutu hendaklah memiliki
akses ke area produksi untuk pengambilan sampel dan penyelidikan yang
diperlukan.
8. Inspeksi
diri dan Audit Mutu
Tujuan inspeksi diri adalah untuk
mengevaluasi apakah semua aspek produksi dan pengawasan mutu industri farmasi
memenuhi ketentuan CPOB (BPOM, 2006).
Inspeksi diri hendaklah dilakukan
secara independen oleh orang yang kompeten yaitu terkualifikasi dan mempunyai
pengalaman yang memadai dalam melakukan inspeksi diri. Inspeksi diri dapat
dilakukan sendiri oleh pihak perusahaan dengan membentuk suatu tim atau oleh
konsultan yang independen dari luar perusahaan. Inspeksi diri hendaklah
mencakup semua bagian yaitu pemastian mutu, produksi, pengaweasan mutu, teknik
dan gudang (termasuk gudang obat jadi, Bahan baku, dan bahan pengemas) (BPOM,
2009).
Inspeksi diri dapat dilakukan oleh tiap
bagian sesuai dengan kebutuhan pabrik namun inspeksi diri yang dilakukan secara
menyeluruh hendaklah dilaksanakan minimal satu kali dalam setahun. Frekuensi
inspeksi diri hendaklah tertulis dalam prosedur tetap inspeksi diri (BPOM,
2009).
9. Penanganan
Keluhan terhadap Produk, Penarikan Produk dan Produk Kembalian
Semua keluhan dan informasi lain yang
berkaitan dengan kemungkinan terjadinya kerusakan obat dapat bersumber dari
dalam maupun dari luar industri, dan memerlukan penanganan dan pengkajian
secara teliti (BPOM, 2009).
Keluhan/informasi yang bersumber dari
dalam industri antara lain dapat dari bagian produksi, bagian pengawasan mutu,
bagian gudang dan bagian pemasaran, sementara dari luar industri antara lain
dapat berasal dari pasien, dokter, paramedis, klinik, rumah sakit, apotek,
distributor, dll (BPOM, 2009).
Penarikan kembali obat jadi dapat
berupa penarikan kembali satu atau beberapa bets atau seluruh obat jadi
tertentu dari semua mata rantai distribusi. Penarikan kembali dilakukan apabila
ditemukan produk yang tidak memenuhi persyaratan mutu atau atas dasar
pertimbangan adanya efek samping yang tidak diperhitungkan yang merugikan
kesehatan (BPOM, 2009).
Produk kembalian adalah obat jadi yang
telah keluar dari industri dan beredar yang kemudian dikembalikan ke industri
karena adanya keluhan, mengenai kerusakan, kadaluarsa, atau alasan lain
misalnya mengenai kondisi obat, wadah atau kemasan sehingga menimbulkan
keraguan akan keamanan, identitas, mutu serta kesalahan administratif yang
menyangkut jumlah dan jenis (BPOM, 2009).
10. Dokumentasi
Dokumentasi pembuatan obat merupakan
bagian dari sistem informasi manajemen dan dokumentasi yang baik merupakan
bagian yang sangat penting dari pemastian mutu (BPOM, 2006). Sistem dokumentasi
yang dirancang/digunakan hendaklah mengutamakan tujuannya, yaitu menentukan,
memantau dan mencatat seluruh aspek produksi serta pengendalian dan pengawasan
mutu (BPOM, 2009). Dokumentasi sangat penting untuk memastikan bahwa tiap
personil menerima uraian tugas secara jelas dan rinci sehingga memperkecil
resiko terjadinya kekeliruan yang biasanya timbul karena hanya mengandalkan
komunikasi lisan (BPOM, 2006).
11. Pembuatan
dan Analisis Berdasarkan Kontrak
Pembuatan dan analisis berdasarkan
kontrak harus dibuat secara benar, disetujui dan dikendalikan untuk menghindari
kesalahpahaman yang dapat menyebabkan produk atau pekerjaan dengan mutu yang
tidak memuaskan. Kontrak tertulis antara pemberi kontrak dengan penerima
kontrak harus dibuat secara jelas untuk menentukan tanggung jawab dan kewajiban
masing-masing pihak. Kontrak harus menyatakan secara jelas prosedur pelulusan
tiap bets produk untuk diedarkan yang menjadi tanggung jawab penuh kepala
bagian manajemen mutu (pemastian mutu).
12. Kualifikasi
dan Validasi
Validasi adalah tindakan pembuktian
dengan cara yang sesuai bahwa tiap bahan, proses, prosedur, kegiatan, sistem,
perlengkapan atau mekanisme yang digunakan dalam produksi maupun pengawasan
mutu akan senantiasa mencapai hasil yang diinginkan (CPOB, 2006).
CPOB mengisyaratkan industri farmasi
untuk mengidentifikasi validasi yang diperlukan sebagai bukti pengendalian
terhadap aspek kritis dari kegiatan yang dilakukan. Perubahan signifikan
terhadap fasilitas, peralatan dan proses yang dapat mempengaruhi mutu produk
hendaklah divalidasi. Pendekatan dengan kajian resiko hendaklah digunakan untuk
menentukan ruang lingkup dan cakupan validasi.
Seluruh kegiatan validasi hendaklah
direncanakan. Unsur utama program validasi hendaklah dirinci dengan jelas dan
didokumentasikan di dalam Rencana Induk Validasi (RIV) atau dokumen setara. RIV
hendaklah merupakan dokumen yang singkat, tepat dan jelas. RIV hendaklah
mencakup sekurang-kurangnya adalah kebijakan validasi, struktur organisasi
kegiatan validasi, ringkasan fasilitas, sistem, peralatan, proses yang akan
divalidasi, format dokumen, format protokol, laporan validasi, perencanaan dan
jadwal pelaksanaan, pengendalian perubahan, serta acuan dokumen yang digunakan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2001. Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik.
Badan Pengawasan Obat
dan Makanan.
Jakarta.
Anonim, 2001. Petunjuk Operasional Penerapan Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan
Obat dan Makanan, Jakarta.
Anonim, 2006. Petunjuk Operasional Penerapan Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan
Obat dan Makanan, Jakarta.
Anonim, 2009. Petunjuk Operasional Penerapan Cara
Pembuatan Obat yang Baik.
Badan Pengawasan
Obat dan Makanan, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar